PERBANDINGAN PELAKSANAAN PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PERKARA GUGATAN BIASA DENGAN PERMOHONAN PAILIT

RIWAN SITOHANG

Abstract


Putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), adalah putusan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pelaksanaan putusan serta merta harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya masalah baru akibat pelaksanaan putusan serta merta itu sendiri. Salah satu masalah yang terjadi akibat pelaksanaan putusan serta merta adalah sulit melakukan pemulihan kembali atas harta pailit yang telah dieksekusi apabila pailit dibatalkan pada pengadilan tingkat banding atau kasasi oleh mahkamah agung. Hal tersebut akan merugikan debitor dan mengganggu kelangsungan usaha debitor itu sendiri. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hukum kepailitan indonesia mengenal adanya putusan serta merta, hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU), pelaksanaan putusan serta merta harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam HIR/RBg, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001. Ketentuan dalam undang-undang kepailitan dan beberapa SEMA sebagaimana disebut di atas, mengenai pemberian uang jaminan yang nilainya sama dengan objek/barang yang dieksekusi oleh pemohon eksekusi kepada pengadilan, merupakan ketentuan yang menjamin perlindungan hukum kepada si debitor apabila dikemudian hari pernyataan pailit dibatalkan.

Kata Kunci: Putusan Serta Merta, Perkara Gugatan Biasa, Permohonan Pailit.


Full Text:

XML

Refbacks

  • There are currently no refbacks.